Kamis, 25 Februari 2010

Berita Acara, Sumpah atau Janji, Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili

BAB 11

BERITA ACARA, SUMPAH ATAU JANJI
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI



1. Berita acara.

Pasal 75 ayat (1) Penyidik membuat berita acara untuk setiap tindakan tentang :
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelasksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

Berita acara dibuat;
- oleh pejabat yang bersangkutan,
- atas kekuatan sumpah jabatan.
(Pasal 75 ayat (2).

Pasal 75 ayat (3), berita acara tersebut selain ditanda tangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1).


2. SUMPAH ATAU JANJI.
Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-
undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya. (Pasal 76 ayat (1).

Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal demi hukum. (Pasal 76 ayat (2).


3. WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI.

3.1. Praperadilan.
Pasal 77, pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. (Pasal 78 ayat (2).

Permintaan untuk memeriksa tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan :
- diajukan oleh tersangka, keluarga,
- atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 79).

Permintaan untuk memeriksa tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;
- dapat diajukan oleh penyidik,
- atau penuntut umum,
- atau pihak ketiga yang berkepentingan,
- kepada ketua pengadilan negeri,
- dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 80).

Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadil-an dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara hori -zontal.

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya. (Pasal 81).

Pasal 82 ayat (1), acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :

a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidak-nya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;

c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan itu gugur;

e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

Pasal 82 ayat (2), putusan hakim dalam acara pemerik-saan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

Pasal 82 ayat (3), isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut :

a. dalam putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka ;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan ;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putus-an dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal sua-tu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya ;

d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Pasal 83 ayat (1), terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.

Pasal 83 ayat (2), dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

3. 2. Pengadilan Negeri.
1. Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
2. Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Dalam hal keadaan daerah tidak mengijinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersdangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. (Pasal 85).

Yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak mengijinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam.

Apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka pengadilan negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadili. (Pasal 86).

4. Pengadilan Tinggi.
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang
diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding. (Pasal 87).


5. Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi. (Pasal88).